Nilai Batas Dosis
Teknik pengawasan keselamatan radiasi dalam masyarakat umumnya selalu
berdasarkan pada konsep dosis ambang. Setiap dosis betapapun kecilnya akan
menyebabkan terjadinya proses kelainan, tanpa memperhatikan panjangnya waktu
pemberian dosis. Karena tidak adanya dosis ambang ini, maka masalah utama dalam
pengawasan keselamatan radiasi adalah dalam batas dosis tertentu sehingga efek yang
akan ditimbulkannya masih dapat diterima baik oleh masyarakat. Oleh karena itu,
setiap kemungkinan penerimaan dosis oleh pekerja radiasi maupun anggota
masyarakat bukan pekerja radiasi harus diusahakan serendah mungkin.
Sejarah Nilai Perkembangan Dosis
Sejarah mengenai perkembangan nilai batas dosis tidak terlepas dari
munculnya kesadaran akan pentingnya proteksi radiasi yang dimulai pada awal tahun
1920-an dimana The British X-ray and Radium Protection Commitee dan American
Roentgen Ray Society mengeluarkan rekomendasi umum mengenai proteksi radiasi.
Pada awal tahun 1925, dibentuk kongres internasional radiologi yang pertama yang
membentuk Komisi Internasional untuk Satuan dan Pengukuran Radiologi (ICRU),
saat itu diperkenalkan konsep dosis tenggang (tolerance dose) yang didefinisikan
Universitas Sumatera Utara
sebagai: “dosis yang mungkin dapat diterima oleh seseorang terus-menerus atau
secara periodik dalam menjalankan tugasnya tanpa menyebabkan terjadinya
perubahan dalam darah.” Pada tahun yang sama, Mutscheller memperkirakan secara
kuantitatif bahwa nilai dosis total yang diterima selama sebulan dengan nilai dosis
haruslah kurang dari 1/100 dari nilai dosis yang dapat menyebabkan terjadinya
erythema pada kulit sehingga tidak mungkin menyebabkan kelainan jangka panjang.
Nilai penyinaran yang memungkinkan timbulnya erythema pada kulit diperkirakan
600 R, sehingga nilai dosis tenggang untuk pekerja radiasi diusulkan sebesar 6 R
dalam jangka penerimaan 1 bulan.
· Pada tahun 1928 diadakan kongres radiologi ke-2 yang menyetujui
pembentukan Komisi Internasional untuk Perlindungan Sinar-X dan Radium dan
secara resmi mengadopsi satuan roentgen (R) sebagai satuan untuk menyatakan
paparan sinar-X dan gamma. Pada tahun 1934, komisi tersebut mengeluarkan
rekomendasi untuk menurunkan dosis tenggang menjadi 0,2 R / hari atau 1 R /
minggu. Pada tahun 1936, nilai dosis tenggang diturunkan lagi hingga 100 mR / hari
dengan asumsi bahwa diperhitungkan adanya hamburan balik (energi sinar-x yang
umumnya digunakan pada saat itu) dimana dosis 100 mR di udara dapat memberikan
dosis 200 mR pada permukaan tubuh.
· Pada tahun 1950, komisi tersebut berubah nama menjadi Komisi Internasional
untuk Perlindungan Radiologi (ICRF). Berbagai perkembangan penelitian
radiobiologi dan dosimetri radiasi menyebabkan perubahan dalam teknik penetuan
nilai batas dosis yang mana komisi tersebut memutuskan:
Menurunkan dosis tenggang menjadi 0,05 R (50 mR) per hari atau 0,3 R (300
mR) per minggu atau 15 R / tahun
Menetapkan kulit sebagai organ kritis dengan dosis tenggangnya sebesar 0,6 R
(600 mR) per minggu.
Perkembangan dalam dosimetri radiasi membuktikan bahwa nilai paparan
tidak tepat jika digunakan sebagai ukuran untuk menyatakan dosis radiasi pada
jaringan. Oleh karena itu, pada tahun 1953 ICRU memperkenalkan dosis serap
dengan satuan rad (radiation absorbed dose). Pada tahun 1955 ICRP
memperkenalkan konsep dosis ekuivalen dengan satuan rem (roentgen equivalent
man) sebagai satuan untuk menyatakan dosis serap yang sudah dikalikan dengan
faktor kualitas dari radiasi yang bersangkutan. ICRP selalu menggunakan besaran
dosis ekuivalen dengan satuan rem untuk menyatakan dosis radiasi.
Nilai Batas Dosis yang Diberlakukan di Indonesia
Setelah membahas lebih jauh tentang nilai batas dosis (NBD), pada bagian ini
akan dibahas lebih lanjut mengenai NBD yang diberlakukan di Indonesia. Penentuan
NBD agak tinggi dimasa lalu semata-mata disebabkan oleh tingkat pemahaman efek
biologi radiasi pada saat itu yang masih agak terbatas. Sifat dari rekomendasi ICRP
ini juga tidak mengikat, dalam arti setiap negara diberikan kebebasan untuk memilih
sistem proteksi radiasi yang paling sesuai dengan kondisi negara masing-masing.
Nilai batas dosis yang diberlakukan di Indonesia dicantumkan dalam Surat
Keputusan Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Nasional Nomor: PN 03/160/DJ/89
menekankan bahwa pekerja yang berumur kurang dari 18 tahun tidak diizinkan untuk
bertugas sebagai pekerja radiasi ataupun diberi tugas yang memungkinkan pekerja
tersebut mendapatkan penyinaran radiasi. Selain itu, pekerja wanita dalam masa
menyusui tidak diizinkan mendapat tugas yang mengandung resiko kontaminasi
radioaktif yang tinggi, jika perlu terhadap wanita ini dilakukan pengecekan khusus
terhadap kemungkinan kontaminasi. Untuk itu, tujuan pemonitoran dan pembatasan
penyinaran dibedakan dua kategori pekerja radiasi yakni:
• Kategori A, untuk pekerja radiasi yang mungkin menerima dosis sama dengan
atau lebih besar dari 15 mSv (1500 mrem) per tahun
• Kategori B, untuk pekerja radiasi yang mungkin menerima dosis sama dengan
atau lebih kecil dari 15 mSv (1500 mrem) per tahun
Adapun nilai batas dosis untuk seluruh tubuh yang bergantung pada pekerja
radiasinya (dengan pengecualian wanita hamil dan wanita masa usia subur) adalah:
• NBD untuk pekerja radiasi yang memperoleh penyinaran seluruh tubuh
ditetapkan 50 mSv (5000 mrem) per tahun
• Batas tertinggi penerimaan pada abdomen pada pekerja radiasi wanita dalam
masa subur ditetapkan tidak lebih dari 13 mSv (1300 mrem) dalam jangka waktu
13 minggu dan tidak melebihi NBD pekerja radiasi
• Pekerja wanita yang mengandung harus dilakukan pengaturan agar saat bekerja
dosis yang diterima janin terhitung sejak dinyatakan mengandung hingga saat
kelahiran diusahakan serendah–rendahnya dan sama sekali tidak boleh melebihi
10 mSv (1000 mrem) dimana umumnya kondisi ini biasanya bekerja pada
kategori B
Penyinaran yang bersifat lokal yaitu pada bagian tubuh tertentu ditetapkan
sebagai berikut:
• Batas dosis efektif yang dievaluasi adalah 50 mSv (5.000 mrem) dalam setahun
dengan dosis rata-rata pada setiap organ tidak melebihi 500 mSv (50.000 mrem)
dalam setahun
• Batas dosis untuk lensa mata adalah 150 mSv (15.000 mrem) dalam setahun
• Batas dosis untuk kulit dalah 500 mSv (50.000 mrem) dalam setahun. Apabila
penyinaran berasal dari kontaminasi radioaktif pada kulit, batas ini berlaku untuk
dosis yang rara-rata pada setiap permukaan 100 cm
• Batas dosis untuk tangan, kaki dan tungkai adalah 500 mSv (50.000 mrem)
dalam setahun
Menurut White pada tahun 1990 yang mempublikasi ICRP mereferensikan
nilai batas dosis dalam bidang kedokteran gigi seperti terlihat dalam tabel berikut:
Tabel 1. Nilai dosis pada setiap jenis teknik radiografi.
Teknik Sinar‐X Dosis Efektif (Ī¼Sv) Dosis resiko (terkena kanker
fatal (per juta)
Raiografi Intraoral 1 – 8,3 0,02 – 0,6
(Bitewing/periapikal)
Oklusal Anterior Maksila 8 0,4
Panoramik 3.85 – 30 0,21 – 1,9
Radiograf lateral sefalometri 2 – 3 0,34
Cross‐Sectional 1 – 189 1 – 14
Tomography (per potong)
CT‐ Scan (Mandibula) 364 – 1202 18,2 – 88
CT‐Scan (Maksila) 100 – 3324 8 ‐ 242